Engkau bagai pelita dalam kegelapan/Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan / Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa.
Rasa-rasanya
lagu ini selalu inget di hati kita. Yup, bagi kita yang pernah mengenyam
pendidikan di sekolah kayaknya nggak bakalan lupa deh sama syair lagu ini.
Apalagi buat kamu yang masih duduk di bangku sekolah. Iya kan? Lagu yang kalo
sekarang dinyanyikan pun harusnya tetap membuat kita menghormati para guru.
Soalnya cita-cita dan harapan yang bisa kita raih sekarang ini juga ada andil
dari mereka. Sekecil apa pun. Apalagi kalo besar.
Masih
terbayang bagaimana kita pas pertama kali masuk sekolah, pertama kali belajar
nulis. Pensil yang kita pegang ikut bergetar karena tangan kita baru
melakukannya, ditambah grogi pula. Tapi guru kita di sekolah dasar itu dengan
telaten mengajari dan membimbing kita dengan tanpa pernah bosen. Seorang teman
malah menikmati profesi guru sebagai jalan hidupnya. Ya, memberi pelita kepada
yang sedang kegelapan adalah perbuatan yang insya Allah mulia. Apalagi jika
ikhlas dilakukan. Allah pasti akan memberikan hujan pahala yang deras. Sangat deras
barangkali.
Boys en galz , lagu Hymne Guru ini selalu
mengingatkan kita pada mereka, para guru. Perhatian, kasih sayang, dan rasa
pedulinya begitu luas hingga sulit bagi lisan ini untuk mengukir kata-kata yang
terindah untuk mereka. Didikan dan bimbingannya masih terekam dalam benak kita
dan tiap kata yang diucapkannya banyak mengandung nasihat.
Kalo
di rumah kita mendapatkan rasa itu dari ayah, ibu, dan juga kakak-adik kita.
Sementara di sekolah, guru yang memberikan semua rasa itu pada kita. Rasanya tak
mungkin kalo bukan karena itu semua mereka mau membimbing kita. Mereka mengajar
dengan penuh perhatian, selain karena ada tujuan materi yang diinginkan dari
ilmu yang diajarkan kepada kita-kita, juga insya Allah berangkat dari idealisme
untuk menciptakan manusia-manusia pembelajar di masa depan. Tentu, kita-kita
ini diharapkan yang akan meneruskan perjuangan membangun negeri ini sesuai
bidang yang digarap dan mampu kita lakukan. Awalnya, tentu kita belajar karena
ada guru di sekolah.
Kalo
udah ngomongin kebaikan juga pengorbanan yang mereka berikan untuk kita
sepertinya nggak ada the end -nya. Bener nggak seh? Coba aja lihat, setiap
hari mereka lebih banyak luangkan waktu di sekolah mulai dari ngajar, pertemuan
para guru dan mengerjakan soal-soal ditambah lagi kudu membimbing dan membina
kalo ada murid yang error tingkah lakunya. Waah itu semua rasanya butuh
mata yang harus awas dan tentunya waspada. Berat memang tugasnya dan juga
pengorbanannya. Tapi tentu betapa mulianya menjadi guru.
Pernah
kan kamu lihat murid-murid pada ngumpul pada jam istirahat? Bagi seorang guru
fenomena ini tidak pernah lepas dari perhatiannya. Tentu harapan guru semoga
ngumpulnya mereka membicarakan sesuatu yang baik. Bukan sebaliknya malah
'hajatan' obat. Berabe kan kalo masalah ini lepas dari perhatian guru? Makanya
bagi mereka dijuluki pahlawan sudah bukan sesuatu yang langka. Emang sih bukan
pahlawan dalam kisah peperangan tapi kalo baca di Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah
pahlawan itu terkait erat dengan sifat pengorbanannya. Setuju nggak? BTW,
gimana neh nasib guru kita saat ini? Sejahterakah mereka? Cerahkah masa depan
mereka?
Nasib guru kita
Entah,
karena pemerintah menerjemahkan lirik lagu �hymne
guru' itu secara keliru, sehingga yang dimaksud �pahlawan
tanpa tanda jasa' itu adalah mereka yang tanpa pamrih. Sehingga nggak dihargai
dengan gaji pun mungkin nggak akan melawan atau berontak. Kenapa? Ya gitu deh,
namanya pahlawan tanpa tanda jasa. Menyedihkan sekali ya?
Jadi
inget lagunya Bang Iwan Fals yang sangat terkenal, yakni �Oemar
Bakri�. Lagu ini berkisah tentang
keprihatinan terhadap nasib guru. Seorang guru bernama Oemar Bakri dalam lagu
Bang Iwan Fals ini digambarkan sebagai sosok guru yang sangat mengabdi sampai
usia tuanya. Tetap semangat mengajar murid-murid tercintanya meski gaji sering �disunat'.
Tragis sekali.
Bahkan
ketika murid-muridnya sudah �jadi orang', sosok Oemar Bakri
tetap saja sederhana, dan nasibnya tak kunjung membaik. Saat ini pun kita
sering mendengar kisah-kisah memilukan tentang profesi guru. Ada banyak �Oemar
Bakri' lainnya yang kini menderita. Ya, seperti melanjutkan �estafet'
nasib Oemar Bakri dalam lagu Bang Iwan Fals tersebut.
Salah
satunya adalah kisah seorang guru yang mengajar di sebuah wilayah di daerah
Gorontolo. Ibu guru kita ini bercerita di acara Kembang Api-nya API (Audisi
Pelawak TPI) 14 Agustus 2005 lalu. Untuk mengambil gajinya yang menurut
pengakuannya sekitar 1 jutaan itu, ia harus berangkat dari rumahnya jam 5 pagi,
dan baru sampai di kota tujuan untuk mendapatkan gajinya sekitar jam 8 malam.
Wuih, jauh banget tuh (berapa kali ganti sendal ya?). Untuk menempuh perjalan
jauh itu, 200 ribu rupiah katanya harus dikeluarkan. Kita bisa bayangin sendiri
gimana memprihatinkannya nasib guru di daerah.
Kalo
di kota mungkin masih agak-agak bisa terobati kali ye? Misalnya untuk menambah
biaya dapur, bisa jadi tukang ojeg. Ini juga ada kisah memilukan tentang
seorang guru. Saya melihatnya di Trans TV dalam acara Good Morning yang
dipandu Ferdy Hassan dan Rieke �Oneng' Dyah Pitaloka. Dalam salah
satu laporannya, ada seorang guru di Bekasi yang nyambi jadi tukang ojeg.
Maklum guru honorer. Jika tak salah dengar gajinya sekitar 400 ribuan gitu deh
per bulannya.
Ini
memang baru satu kasus, entah kasus lainnya yang tak terberitakan. Wallahu'alam .
Tapi meski hanya satu atau beberapa kasus yang bisa dihitung dengan jari,
tentunya ini adalah sebuah musibah. Ya, musibah bagi profesi pengajar yang
dengan ilmunya menjadikan kita-kita bisa belajar dan bahkan bisa lebih pinter
dari mereka dan nasib kita barangkali juga ada yang lebih baik dari mereka.
Kita
yakin juga kok, bahwa nasib guru yang agak-agak lebih baik atau mungkin sangat
baik juga ada. Tapi jumlahnya tak sebanyak yang �merana'.
Tentunya harus ada perhatian dan juga tindakan nyata dari pemerintah untuk
memikirkan solusi dari nasib guru dan juga masalah pendidikan ini.
Ini
memang harus diupayakan untuk segera ditangani. Maklum saja, waktu terus
berjalan dan roda kehidupan juga butuh energi untuk menggerakkannya. Jika nasib
guru terus memburuk, khawatir idealisme sebagai pengajar juga akan pudar.
Tergerus oleh naluri untuk mempertahankan hidup. Idealismenya dikalahkan oleh
urusan perut. Itu sebabnya, jangan salahkan pula jika banyak dari kita sudah
tak punya cita-cita untuk menjadi guru. Karena melihat nasib para guru (secara
umum) yang mengenaskan.
Kenapa ini terjadi?
Sobat
muda muslim, kita jadi berpikir lebih jauh, ada apa sebenarnya dengan kondisi
guru? Separah inikah nasib �pahlawan tanpa tanda jasa�?
Mengapa ini bisa terjadi? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bisa terus
menghantui kita dan berusaha mendapatkan jawaban yang benar dan masuk akal.
Memang
sih, masalah di negeri kita bukan hanya soal guru. Bukan hanya soal
pengangguran, bukan pula sekadar masalah kriminal yang kian menggila. Masalah
di negeri kita banyak sekali. Saking banyaknya, rasanya tak akan cukup
dituliskan secara lebih detil di buletin kesayangan kamu yang cuma empat
halaman ini.
Jika
kita melihat lebih dalam (sumur kale!), tentu kita berpikir bahwa kondisi
masyarakat ini tak bisa lepas dari sistem kehidupan yang mengendalikannya.
Apakah akan bergolak atau tetap dingin, sistemlah yang mengaturnya. Ambil
contoh air yang ada di tempayan. Jika tidak dipanasi dengan api ia tidak akan
bergolak. Tetep dingin. Nggak bereaksi sedikit pun.
Air
yang ada di lemari es, karena dikondisikan oleh �sitem
pendingin' dari kulkas itu, maka ia akan menjadi dingan dan bahkan beku. Di
sinilah sebuah sistem berperan besar.
Itu
sebabnya, jika melihat fakta saat ini, ternyata dalam kehidupan negara yang
menerapkan kapitalisme-sekularisme, asas manfaat yang disandarkan pada materi
menjadi tolok ukur. Memang sangat kompleks untuk menjelaskan tentang sistem
kapitalisme. Mungkin saja memerlukan berlembar-lembar halaman. Tapi di sini
kita �bicara' singkat aja. Semoga
mengena. Oke?
Kita
lebih melihat fakta dari diterapkannya kapitalisme di sini, bahwa pemerintah
lebih memfokuskan perhatiannya kepada sektor-sektor yang cepat menghasilkan
duit (itu pun jika tidak dikorupsi pejabatnya). Dalam satu kasus saja, misalnya
program pemberdayaan guru dan peningkatan kesejahteraannya sering hanya
berhenti di seminar-seminar saja. Nyaris realisasinya tak terwujud di lapangan.
Menyedihkan.
Tapi
sebaliknya, pemerintah kelihatan sangat getol jika ada proyek-proyek yang cepat
mendatangkan uang, seperti eksplorasi minyak bumi, izin untuk tempat-tempat
hiburan, pelacuran, perjudian, pabrik minuman keras, dan bahkan �tutup
mata' terhadap peredaran narkoba. Tentu untuk beberapa kasus ada yang ditindak
juga, tapi biasanya itu yang nggak mendapatkan izin dan nggak �nyetor'
upeti.
Coba
aja dipikirin deh, daripada bikin lokalisasi pelacuran, komplek perjudian dan �melindungi'
peredaran narkoba, anggarannya kan bisa dipake untuk kesejahteraan guru. Jangan
sampe guru yang kesulitan mengepulkan asap dapurnya karena gajinya rendah
ikutan-ikutan masang
nomer cantik pembawa hoki di arena judi togel.
Menyoroti
nasib guru ini, Ketua Umum Persatuan Guru RI, Muhammad Surya menyampaikan, �Apa
pun yang diperjuangkan untuk perbaikan kesejahteraan guru berpulang pada sejauh
mana komitmen penyelenggara negara terhadap pendidikan. Studi banding kemana
pun jika tidak mengedepankan kepentingan pendidikan itu sendiri maka percuma� (Koran Tempo,
5 Agustus 2005)
Sobat
muda muslim, masalah ini memang kompleks banget. Satu-satunya jalan adalah
dengan mengubah kondisi yang ada supaya menjadi lebih baik. Selama sistem yang
mengkondisikan kehidupan ini tidak kita enyahkan, maka selama itu pula kita
akan tetap terkurung dalam arus kehidupan yang membuat kita semua menderita
lahir-batin.
Ini
insya Allah nggak akan terjadi jika kita mau menerapkan aturan Islam yang akan
mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini. Yakin itu.
Untukmu guruku
Semoga
saja, nasib guru menjadi lebih baik di masa-masa yang akan datang. Kita sendiri
baru bisa mendoakan dan sedikit memberi solusi. Namun, solusi yang baru
bersifat wacana ini membutuhkan dukungan dari pemerintah untuk
merealisasikannya. Sebab, tanpa peran mereka, harapan kita untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup para guru tak akan pernah terwujud. Karena jasa guru
termasuk berharga bagi kemajuan sebuah peradaban. Pemerintah harus menghargai
para pendidik dan memajukan dunia pendidikan.
Itu
sebabnya, amat wajar bahwa kita pantas dan layak untuk menyampaikan ucapan
terima kasih kepada guru kita semua. Ijinkan kami memberikan tanda cinta kami
yang tak pernah luntur oleh waktu. Guruku, ketulusan dan keluasan ilmumu yang
berguna selalu kau limpahkan untuk bekalku nanti. Bila masih bisa mulutku
berbicara kukatakan padamu: terima kasih guruku.
Dan,
semoga saja pemerintah bisa mewujudkan niat baiknya untuk menghormati,
menghargai, dan memberikan yang terbaik untuk para guru sebagai tanda cinta dan
rasa terima kasih yang amat dalam. Semoga Allah memudahkan niat dan langkah
baik kita. Amin.
Tapi,
rasanya sangat sulit terwujud jika pemerintah masih menerapkan kapitalisme.
Saatnya menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Siap kan? [fahmarosyada:
fahmarosyada@yahoo.co.id]
Sumber : STUDIA Edisi 258/Tahun ke-6 (22
Agustus 2005)