Jumat (15/7) petang
lalu, penduduk Desa Cikiwul, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat,
dikagetkan dengan peristiwa bunuh diri seorang siswi SMP 10 Bantar Gebang. Vivi
Kusrini nekat mengakhiri hidup dengan menggantung diri memakai seutas tali di
kamar mandi rumahnya. Menurut penuturan sang Ayah, mungkin alasan vivi gantung
diri karena malu sering diejek teman sekolahnya sebagai anak tukang bubur.
Apalagi menjelang tahun ajaran baru ini Vivi belum punya seragam sekolah. ( liputan6.com, 16/07/2005 )
Kejadian serupa juga
menimpa Oman, seorang pelajar kelas enam Sekolah Dasar Karang Asih 04,
Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (4/6/2004), yang nekat meminum racun tikus
karena tidak mempunyai uang untuk membayar biaya ujian akhir nasional (UAN)
sebesar seratus ribu rupiah. Kasus Oman ini mengingatkan kembali kasus bunuh
diri yang dilakukan Haryanto, murid SD Megeri Sanding IV Garut, Jawa Barat,
pada tahun 2003. Hariyanto juga mencoba bunuh diri karena tidak mampu membayar
uang ekstrakurikuler sebesar Rp 2.500 ( liputan6.com,
05/06/2004 )
Parahnya, gejala bunuh
diri yang dilakukan pelajar juga merembet pada anak usia prasekolah. Diduga
gara-gara dimarahi ibunya karena tidak mau disuruh mandi, seorang bocah di
Blora, Sabtu (14/5) nekad bunuh diri. Renaldi Sembiring (5,9 tahun), pelajar
Taman Kanak-Kanak (TK) Pertiwi, Kelurahan Tempelen Kecamatan/Kota Blora Jawa
Tengah, ditemukan tergantung di tali plastik jemuran yang berada di kayu
penyangga atap dalam ruangan kosong di rumah yang berlokasi di komplek Rumah
Dinas Hakim PN Blora, Kelurahan Tempelen Blora. ( Republika, 15/05/2005 )
Sobat, maraknya kasus
bunuh diri yang menimpa pelajar, bikin hati kita prihatin bin terenyuh.
Prihatin, lantaran mereka selaku pelajar adalah generasi harapan masa depan
negeri ini. Dan tentu terenyuh mengingat usia mereka yang masih belia. Sedih
rasanya menyaksikan satu per satu dari mereka kudu mengakhiri hidupnya dengan
tragis. Bukannya menggantungkan cita-cita setinggi langit, malah gantung diri
pake seutas tali. Piye
iki ?
Kenapa mesti
bunuh diri?
Kalo kita perhatikan
(ciee kayak pengamat politik aja), kayaknya ada misspersepsi di kalangan anak
(terutama pelajar) tentang cara mengatasi masalah yang dihadapinya. Mereka
menganggap bunuh diri sebagai jalan keluar yang praktis dan mudah untuk
mengakhiri masalah. Atau bisa juga sebagai ungkapan dari rasa kecewanya. Nggak
pake mikir or nyadar kalo bunuh diri itu termasuk perbuatan dosa besar dan
bakal dapet siksa di akhirat.
Allah Swt. sudah
menjelaskan tentang larangan untuk melakukan bunuh diri. Seperti dalam salah
satu ayat dalam al-Quran:
� Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. � ( QS an-Nisaa` [4]: 29 )
Rasulullah saw. juga
bersabda dalam sebuah hadis: �
Barangsiapa yang
mencekik lehernya, ia akan mencekik lehernya sendiri di neraka. Dan barang
siapa yang menusuk dirinya, ia akan menusuk dirinya sendiri di neraka. � [ HR Bukhari dan Muslim ]
Dari beberapa kejadian
di atas, ada tiga motif yang umumnya memancing para pelajar itu berbuat nekat
melakukan bunuh diri.
Pertama , kesulitan ekonomi. Ketika
biaya pendidikan di negeri kita kian mahal, para pelajar itu kudu berhadapan
dengan ekonomi keluarga yang pas-pasan. Padahal orang tua mereka udah banting
tulang plus peras
keringat biar anaknya bisa mengenyam pendidikan formal. Tapi ternyata, bisa
sekolah aja belon cukup. Sebab mereka kudu mengeluarkan kocek lagi untuk biaya
ujian, seragam, buku, ekstra kulikuler dan lainnya. Walhasil, rasa malu van
minder dengan mudah menghinggapi pelajar yang tak bisa memenuhi tuntutan biaya
pendidikan. Kalo nggak kuat iman, nasibnya bisa ngikutin jejak Vivi atau Oman.
Gaswat banget kan?
Kedua , hubungan keluarga yang kurang
harmonis. Masih ada orang tua atau sang kakak mengekspresikan rasa sayangnya
kepada adik dengan kemarahan ketika berselisih. Seolah-olah yang paling muda
selalu salah. Sang adik masih dianggap anak kecil yang nggak punya hak untuk
bicara atau membela diri. Parahnya, ungkapan kekecewaan seorang adik kepada
kakaknya atau kepada orang tua sering nggak dapet tempat dalam keluarga. Anak
jadi ngerasa sendiri. Tak ada yang memperhatikan. Akhirnya, mereka pun
mengambil keputusan �pensiun
dini' dari kehidupan dunia. Seperti yang terjadi pada Priyo atau Renaldi
Sembiring.
Ketiga , dampak negatif pemberitaan
media. Menurut Wakil Ketua PW Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jabar, Ir. H.
Zulkarnaen, media massa baik cetak maupun elektronik juga ikut �menyumbangkan� dampak negatif, karena
anak-anak belum memiliki filter. �Seperti
kasus bunuh diri Haryanto (�PR�, 13/8-2003) yang
diberitakan besar-besaran oleh media massa dengan banjirnya bantuan dari
pejabat sampai artis. Anak-anak yang tidak paham meyakini enaknya bunuh diri
sebab mendapat hadiah uang cukup banyak.�
Padahal seharusnya
peran media massa bisa lebih mengedepankan unsur edukasi kepada masyarakat.
Bukan menginspirasi supaya berbuat yang sama. Sepertinya nggak ada standar
nilai yang dipake media untuk menentukan perbuatan tersebut salah atau benar.
Sehingga opini di tengah masyarakat dibiarkan mengambang atau diarahkan untuk
setuju dan diam terhadap kemaksiatan yang terjadi di depan mata. Parahnya, di
era kapitalis kayak gini, standar nilai yang dipake pihak media adalah rating
tinggi dan membanjirnya iklan. Unsur pendidikan? Dipending aja dulu kali ya�!
Hidup itu indah
sobat...
Sobat, dalam menjalani
kehidupan ini, berbagai tuntutan kebutuhan hidup datang silih berganti nggak
kenal situasi dan kondisi. Sementara kemampuan yang kita miliki terbatas alias
nggak stabil. Ketika tuntutan kebutuhan hidup tak sejalan dengan kemampuan,
timbullah permasalahan. Ini yang bikin kita ngerasa hidup itu begitu menekan,
sulit, dan penuh dengan penderitaan (hihihi..kaya lirik lagu dangdut).
Sampe-sampe kita kalungkan predikat musibah untuk setiap masalah yang menghampiri
kita. Tepatkah predikat itu?
Nggak sobat. Rugi kalo
kita anggap sebuah masalah itu adalah musibah. Segenap jiwa raga, waktu,
pikiran, dan tenaga kita bakal terkuras habis untuk menghindari masalah.
Akibatnya, panca indera kita seolah mati rasa untuk menikmati segala anugerah
yang Allah berikan dan merasakan hal-hal yang menarik dalam hidup kita. Padahal
mereka yang tergolek lemah di rumah sakit pengen cepet sembuh biar bisa
menikmati hangatnya sinar mentari pagi. Malah ada yang kudu bayar ratusan ribu
untuk menghirup udara segar dari tabung oksigen. Sementara kita bisa
mendapatkannya dengan cuma-cuma setiap pagi. Masihkah kita ngerasa hidup itu
sulit?
Kesulitan hidup adalah
bagian dari kenikmatan yang Allah berikan pada kita. Makanya nikmatilah kesulitan
itu dengan selalu berpikir positif. Dengan berpikir positif, mata kita akan
lebih terbuka, hati kita akan lebih peka, dan pikiran kita lebih leluasa
memandang sebuah permasalahan dari berbagai sisi. Dan ternyata, Allah nggak
akan pernah ngasih beban hidup di luar kemampuan kita. Harapan ini yang harus
kita pegang. Agar kita punya alasan yang kuat untuk tetap hidup demi meraih
ridho Allah dalam kehidupan dunia.
Coba sesekali kita ikut
prosesi perlakuan terhadap jenazah. Mulai dari memandikan, mengkafani,
mensholatkan, sampe menguburkan. Kita bisa lihat, orang yang sudah wafat nggak
bisa apa-apa (apa pernah dengar jenazah bisa mandi sendiri?). Pintu taubat dan
ladang pahala sudah tertutup baginya. Ini menunjukkan betapa berharganya hidup
kita. Karena kita masih punya kesempatan untuk bertobat, berburu ridho Allah,
dan mensyukuri kenikmatan yang diberikanNya. Nikmat iman, Islam, sehat, sakit,
bahagia, atau sedih. Ini yang bikin hidup kita indah.
Keindahan hidup nggak
diukur dari panjang-pendeknya umur atau kaya-miskinnya kita. Tapi dilihat dari
usaha kita mengisi hidup. Pilihannya cuma dua, dengan ketaatan atau
kemaksiatan. Sebab keindahan hidup, tidak seharusnya hanya kita rasakan di
dunia saja. Tapi juga di akhirat. Dan ketaatan terhadap aturan Allah Swt. dalam
menjalani hidup menjadi kunci untuk mendapatkan keindahan hidup dunia dan
akhirat. Makanya, bangkit dan hadapilah setiap tantangan hidup dengan berpegang
pada aturan Islam. Percaya deh, kita pasti bisa melaluinya. Terlalu berharga
hidup ini jika harus diakhiri dengan cara bunuh diri. Selain dosa, juga
sia-sia. Double kan
ruginya?
Jangan sampai
terulang lagi
Bener sobat, harus ada
peran serta dari negara, sekolah, keluarga, dan remaja itu sendiri agar kasus
bunuh diri yang dilakukan para pelajar seperti di atas tidak terulang lagi.
Negara dalam hal ini
sangat berkepentingan untuk memberikan jaminan kesejahteraan, terutama pada
rakyat miskin. Jaminan itu bisa berupa terpenuhinya kebutuhan pokok (sandang,
pangan, papan); biaya pendidikan dan ongkos kesehatan yang murah atau gratis.
Sehingga alasan ekonomi tidak lagi memicu orang untuk melakukan aksi bunuh
diri. Selain itu, negara juga kudu rajin memberikan �siraman rohani� lewat program yang benar di
media massa, sehingga mental masyarakat kuat dan tak mudah putus asa dalam
menjalani kehidupan ini. Kondisi ini bakal mudah terpenuhi jika negara pake
aturan Islam untuk ngatur rakyatnya. Kalo sekarang? Lihat aja hasil buruk
akibat diterapkannya sistem kapitalisme. Betul?
Pihak sekolah tidak
seharusnya mengarahkan siswa hanya untuk mengejar nilai mata pelajaran.
Sementara perkembangan jiwa dan psikologinya dibiarkan tandus. Akibatnya,
seperti dituturkan Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, siswa tak
punya life skills untuk
memecahkan masalah dalam kehidupan nyata. Sehingga jiwanya rapuh dan mudah
terguncang. Adanya pengajian yang diagendakan sekolah, bisa menjadi alternatif
untuk menyokong emotional
intelegencia yang diperlukan siswa untuk memupuk perkembangan
jiwanya ke arah positif.
Keluarga, idealnya bisa
menjadi �katup
pengaman' bagi para pelajar dalam menghadapi masalah sosialnya. Jika ada
masalah di sekolah atau dengan temannya, ia bisa memperoleh solusi di
keluarganya. Pembicaraan dari hati ke hati antara orang tua dan anak atau antar
anggota keluarga, bisa membantu mencairkan kekecewaan yang dialami anak serta
membesarkan hatinya. Sehingga bunuh diri tidak menjadi pilihan mereka dalam
menyelesaikan masalahnya.
Dan yang terakhir,
mungkin temen remaja kurang mendapatkan dasar ilmu agama yang bisa �memaksa' mereka untuk selalu
berpikir akan pahala dan dosa sebelum berbuat sesuatu. Padahal ilmu agama
(Islam) menjadi benteng terakhir yang dimiliki kita dalam menghadapi setiap
masalah agar tidak salah jalan. Dan emang udah seharusnya setiap muslim giat
mengkaji Islam lebih dalam dan lebih detil dengan serius dan penuh semangat.
Tujuannya? Untuk
mendapatkan petunjuk hidup yang jelas dan benar. Sehingga, dalam keadaan suka
dan duka, ia akan selalu ingat kepada Allah dan jalan keluar yang ditawarkan
Islam. Nggak akan milih jalan lain yang belum jelas (apalagi nggak benar).
Sebab, dengan menempuh jalan yang benar, kita merasa tentram dan aman. Nggak
was-was lagi menjalani hidup yang penuh �kejutan'
ini.
Oke deh, daripada bunuh
diri, mending bunuh tuh rasa malas yang ngendon dalam diri kita pas mau ikut
pengajian. Berani? Siapa takut! [Hafidz:
hafidz341@telkom.net]
Sumber
: STUDIA Edisi
255/Tahun ke-6 (1 Agustus 2005)
0 komentar:
Posting Komentar