About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful.

Minggu, 29 April 2012

Orangtuaku, Teladanku


Punya orangtua yang bisa dijadiin teladan adalah keinginan kita semua. Tentu senangnya bukan main ya kalo ortu udah bisa dijadiin teladan bagi anak-anaknya. Kita juga bakalan malu dong kalo harus merendahkan mereka. Sebaliknya kita akan menghormatinya, mencintainya, dan juga menyayanginya. Rasanya tentram banget kalo kita punya ortu yang bisa ngertiin kita-kita, peduli, penuh kasih sayang, dan tentunya terus memberikan dukungan buat kemajuan kita. Apalagi jika ortu kita membimbing, mengarah-kan, dan membina kita dengan benar dan baik dalam bingkai ajaran agama. Wuih, rasanya kita bisa menatap masa depan ini dengan penuh rasa percaya diri. Dunia dan akhirat bisa kita raih dengan penuh semangat. 

Sobat muda muslim, perasaan terdalam dari kita-kita sebagai remaja memang menginginkan contoh dan teladan dari orang-orang terdekat dalam keluarga kita. Mereka adalah orangtua kita. Bener lho. Sebab, bukannya kita manja, meski kita udah gede sekalipun tetep aja butuh perhatian dari orangtua. Nggak kebayang deh kalo orangtua kita malah cuek bebek aja ama perkembangan anak-anaknya. Jangan sampe deh ortu kita begitu rupa. Amit-amit jabang bayi. Bisa seumur-umur tuh nyeselnya.

Tapi, menyaksikan kondisi kelurga muslim saat ini rasanya sedih banget deh. Gimana nggak, dengan alasan mengejar kemapanan ekonomi keluarga, acapkali orangtua pada sibuk dengan urusannya masing-masing. Ayah sibuk bekerja, sementara ibu juga sibuk dengan pekerjaannya atau mungkin usahanya yang sering di luar rumah. Kehadiran anak-anak yang lucu dan imut cuma mampu menghibur di kala sepi aja. Sebagian malah dibiarkan tumbuh dengan warna karakter yang apa adanya.

Emang sih, bukan berarti kaum ibu nggak boleh sama sekali bekerja. Silakan aja, selama bisa mencurahkan kasih sayang dan perhatian yang lebih kepada buah hatinya. Repotnya emang kalo kondisi ekonomi keluarga ngepas banget. Mau nggak mau ibu juga ikutan banting-tulang nyari tambahan untuk mengepulkan asap dapur.

Nah, kalo bicara kondisi sekarang bisa kena dilema. Khususnya bagi keluarga yang pas-pasan dari segi penghidupan ekonominya. Kalo di rumah aja cuma ngurus anak, alamat berkurang pemasukan untuk menopang kebutuhan keluarga. Apalagi yang anaknya banyak. Bisa kebayang gimana repotnya. Kalo ikutan kerja bantu suami, anak-anak bisa berkurang mendapatkan kasih sayang.
Dalam kondisi seperti ini, bisa saja ibu bekerja membantu ayah, tapi tolong juga perhatikan anak-anak. Itu sebabnya, mungkin jenis pekerjaannya yang bisa diakalin supaya nggak menyita banyak perhatian buat anak-anaknya. Misalnya buka warung, mengajar anak-anak TPA, atau kecil-kecilan jualan kue hasil kreasi sendiri, mungkin juga belajar punya kete-rampilan menjahit dan jenis pekerjaan lain yang sekira-nya bisa tetap memantau perkembangan pribadi anak-anak. Boleh juga tuh bagi para ibu yang kebetulan sarjana, bisa aja buka usaha les privat, atau mengajar di sekolah atau perguruan tinggi dengan jam pelajaran yang nggak banyak dalam seharinya.

Ya, itu semua memang butuh pengorba-nan. Membekali anak-anak dengan keimanan, kedisiplinan, dan tanggungjawab jauh lebih berharga ketimbang membekali mereka dengan harta semata. Pengorbanan yang diberikan para ortu insya Allah bermanfaat bagi anak-anaknya. Kita yakin kok, semua orangtua ingin agar anak-anaknya juga tumbuh dewasa dengan pribadi yang matang, kuat, punya tanggung jawab, dan tentunya taat beragama.
Sobat muda, yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana mengkomunikasikan harapan kita kepada ortu kita. Tul nggak?

Kita butuh perhatian

Kita ingin perhatian dan kepedulian lebih banyak diberikan sama ortu. Bukan apa-apa, perhatian dan kepedulian ini jauh lebih berharga ketimbang harta benda. Sebab, kita anak-anaknya, nggak mau cuma dianggap sebagai bilangan aja, tapi juga ingin diperhitungkan.
Tegur-sapa, canda-tawa, dan juga me-nanyakan tentang hal yang ringan, bisa menumbuhkan kebersamaan. Bahkan kita bisa belajar saling menghargai perbedaan. Juga saling memahami kekurangan dan kelebihan masing-masing. Nggak mustahil kan kalo kemudian terjalin ikatan batin yang kuat dan kokoh di antara anggota keluarga?

Sobat muda muslim, perhatian dan kepedulian dari orangtua akan mampu memberikan semangat hidup bagi kita. Sepertinya tak ada batas antara ortu dengan kita. Yang ada hanyalah jembatan kasih sayang yang tumbuh dari perhatian setulus hati. Komunikasi kita dengan ortu nyaris tak ada hambatan, jika semuanya dilandasi dengan kepercayaan dan pengertian.
Dorothy Law Nolte menuliskan sebuah puisi indah yang menceritakan hubungan pendidikan orang tua dengan pembentukan karakter anak-anak. Sengaja saya cuplikkan sebagai bahan renungan kita bersama:

Anak Belajar dari Kehidupannya

Jika anak dibesarkan dengan celaan,
Ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,
Ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,
Ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,
Ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
Ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
Ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian,
Ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan,
Ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,
Ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dukungan,
Ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih-sayang dan persahabatan,
Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
(diambil dari Psikologi Komunikasi , Jalaluddin Rahmat. Hlm. 102-103).
Bila anak tumbuh menjadi liar, keras, pendendam, dan tidak punya sikap penyayang. Tentu tidak muncul begitu saja. Barangkali para orangtualah yang merekayasa semuanya. Duh, jangan sampe deh.

Tapi, tentunya kita nggak bisa menya-lahkan sepenuhnya bahwa ini adalah hasil kreasi para ortu. Kondisi kehidupan di alam kapi-talisme-sekularisme seperti saat ini, yang telah menciptakan kebejatan dan ikut menyumbang bobroknya kepribadian masya-rakat dan individu di dalamnya.
Meski demikian, peran orangtua sebagai pemimpin dalam keluarga tetep diperlukan. Tentunya dibutuhkan sebagai langkah awal pencegahan dalam rangka mendidik generasi unggulan ini. Setuju kan? Itu sebabnya, kita tetap mengharapkan hubungan yang baik antara ortu dengan anak-anaknya. Dan itu dimulai dari ortu. Aduh uenake kalo ortu kita jadi teladan dalam hidup kita.

Belajar saling mencintai

Sobat muda muslim, bisa jadi kita perlu ngobrol dan mendiskusikan sama ortu kita bahwa pengorbanan yang mereka berikan kepada kita, anak-anaknya adalah bernilai ibadah di sisi Allah. Tentunya berpahala dong.

Ada sebuah riwayat menarik mengenai hal itu. Diriwayatkan bahwa ada seorang seorang perempuan miskin datang menemui Aisyah r.a. Ia membawa dua orang anak perem-puan. Aku memberikan tiga butir kurma kepadanya. Ia memberikan dua butir kurma kepada anaknya. Ia bermaksud untuk memakan sisanya. Tetapi kedua orang anaknya berusaha mere-butnya, sehingga kurma itu pun jatuh dari tangannya. Akhirnya, perempuan itu tidak makan kurma satu butir pun. Aku terpesona dengan perilaku perem-puan itu. Aku ceritakan peristiwa itu kepada Rasulullah saw. Ia bersabda;

 Barangsiapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka. (H.R. Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) .

Duh, kita mengharapkan banget ortu kita bisa membimbing kita untuk menemukan kebenaran Islam. Itu sebabnya, mungkin mulai sekarang bisa diobrolkan dengan ortu kita tentang tanggung jawabnya itu. Yup, tentu bukan orangtua yang baik yang meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan lemah. Baik iman, ilmu dan harta. Kita, membutuhkan semuanya.

Suatu ketika Luqmanul Hakim bercakap-cakap dengan anaknya. Wahai ayah, apa yang terbaik bagi manusia?
 �Agama, jawab Luqman.
Kalau dua?
Agama dan harta.
Kalau tiga?
Agama, harta dan rasa malu.
Bila empat?
Agama, harta, rasa malu dan akhlak yang mulia.
Jika lima?
Agama, harta, rasa malu, dan akhlak yang mulia dan dermawan.

Anaknya bertanya lagi,
Jika enam?
Luqman menjawab, Anakku, jika yang lima itu berkumpul pada diri seorang hamba maka dia adalah orang yang bertakwa, dan Allah akan menolong orang yang menjauhi syetan.
Andai para ibu seperti yang diceritakan dalam hadist tadi, dan juga para ayah seperti Lukmanul Hakim, kebanggaan kita besar banget kepada mereka. Dialah ortu teladan kita. Subhanallahu. Tapi kita yakin kok, bahwa para ortu sekarang juga bisa belajar dari para ortu teladan yang tadi disebutkan. Insya Allah. Kuncinya, coba kita ajak ortu untuk sama-sama belajar saling mencintai. Meski untuk saling mencintai tak ada seko-lahnya, tapi kita wajib belajar untuk bisa men-cintai dengan benar. Setuju kan?

Menjalin komunikasi

Peran komunikasi me-mang besar dalam menjalin hubungan antar manusia. Salah komunikasi maka akibatnya juga bisa fatal. Lebih parah lagi kalo nggak ada komunikasi sama sekali. Termasuk komunikasi dalam keluarga. Hih, bayangin aja kalo para penghuni sibuk dengan urusannya masing-masing. Bisa-bisa tuh rumah nggak ada bedanya dengan kuburan. Sepi dan mencekam. Emang sih komunikasi bisa dengan tanda atau gambar, tapi alangkah enaknya kalo juga dengan obrolan. Biar terikat bathin satu sama lain. Betul? Yup, seratus buat kamu! :-)

Dengan komunikasi kita juga jadi ngeh ama yang diingkan partner kita. Kita juga bisa mengelola informasi yang baik dengan ortu kita. Hasilnya? Wuih, bisa bikin senang kalo kita tinggal di rumah.
Kalo pun marahan sama ortu, kita bisa mendiskusikannya dengan baik. Tul nggak? Berbeda pendapat soal keinginan itu wajar. Tapi jadi nggak wajar kalo sama-sama ngotot. Misalnya aja soal tontonan televisi. Kebetulan tayangan yang kamu suka dengan tayangan yang ayahmu suka sama jamnya. Kita udah kebelet pengen nonton David Beckham main bola, eh, bapak kita lebih suka nonton wayang kulit. Tivi cuma satu lagi.

Waduh, kalo sama-sama ngotot bisa berabe tuh. Coba deh obrolin. Kali aja bisa dise-pakati untuk pindah chanel tiap sepuluh menit. Kalo ayahmu nggak bisa diganggu, ya, kamu kudu ngalah. Itu lebih baik. Membiarkan ayah kamu terhibur dengan hobinya kan berpahala juga. Tul nggak? Nggak usah marahan. Oke?

Kita wajib menghormatinya dan nggak boleh sama sekali membencinya. Allah Swt. berfirman:

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (TQS al-Isrâ' [17]: 23)

Sobat muda muslim, mulai sekarang mari kita jalin kerjasama dengan ortu kita. Supaya ngeh dengan peran masing-masing. Kita butuh ortu teladan, dan kita yakin ortu juga ingin anak-anaknya berbakti kepada mereka. Jadi, ayo jalin komunikasi yang sehat untuk menumbuhkan rasa saling peduli, kasih sayang, dan juga cinta dalam bingkai ajaran Islam. Insya Allah bisa kok itu semua kita jalani. Yakinlah. [solihin]

Sumber : Edisi 167/Tahun ke-4 (20 Oktober 2003)

0 komentar:

Posting Komentar