Punya
orangtua yang bisa dijadiin teladan adalah keinginan kita semua. Tentu
senangnya bukan main ya kalo ortu udah bisa dijadiin teladan bagi anak-anaknya.
Kita juga bakalan malu dong kalo harus merendahkan mereka. Sebaliknya kita akan
menghormatinya, mencintainya, dan juga menyayanginya. Rasanya tentram banget
kalo kita punya ortu yang bisa ngertiin kita-kita, peduli, penuh kasih sayang,
dan tentunya terus memberikan dukungan buat kemajuan kita. Apalagi jika ortu
kita membimbing, mengarah-kan, dan membina kita dengan benar dan baik dalam
bingkai ajaran agama. Wuih, rasanya kita bisa menatap masa depan ini dengan
penuh rasa percaya diri. Dunia dan akhirat bisa kita raih dengan penuh
semangat.
Sobat muda
muslim, perasaan terdalam dari kita-kita sebagai remaja memang menginginkan
contoh dan teladan dari orang-orang terdekat dalam keluarga kita. Mereka adalah
orangtua kita. Bener lho. Sebab, bukannya kita manja, meski kita udah gede
sekalipun tetep aja butuh perhatian dari orangtua. Nggak kebayang deh kalo
orangtua kita malah cuek bebek aja ama perkembangan anak-anaknya. Jangan sampe
deh ortu kita begitu rupa. Amit-amit jabang bayi. Bisa seumur-umur tuh
nyeselnya.
Tapi,
menyaksikan kondisi kelurga muslim saat ini rasanya sedih banget deh. Gimana
nggak, dengan alasan mengejar kemapanan ekonomi keluarga, acapkali orangtua
pada sibuk dengan urusannya masing-masing. Ayah sibuk bekerja, sementara ibu
juga sibuk dengan pekerjaannya atau mungkin usahanya yang sering di luar rumah.
Kehadiran anak-anak yang lucu dan imut cuma mampu menghibur di kala sepi aja.
Sebagian malah dibiarkan tumbuh dengan warna karakter yang apa adanya.
Emang sih,
bukan berarti kaum ibu nggak boleh sama sekali bekerja. Silakan aja, selama
bisa mencurahkan kasih sayang dan perhatian yang lebih kepada buah hatinya.
Repotnya emang kalo kondisi ekonomi keluarga ngepas banget. Mau nggak mau ibu
juga ikutan banting-tulang nyari tambahan untuk mengepulkan asap dapur.
Nah, kalo
bicara kondisi sekarang bisa kena dilema. Khususnya bagi keluarga yang
pas-pasan dari segi penghidupan ekonominya. Kalo di rumah aja cuma ngurus anak,
alamat berkurang pemasukan untuk menopang kebutuhan keluarga. Apalagi yang
anaknya banyak. Bisa kebayang gimana repotnya. Kalo ikutan kerja bantu suami,
anak-anak bisa berkurang mendapatkan kasih sayang.
Dalam kondisi
seperti ini, bisa saja ibu bekerja membantu ayah, tapi tolong juga perhatikan
anak-anak. Itu sebabnya, mungkin jenis pekerjaannya yang bisa diakalin supaya
nggak menyita banyak perhatian buat anak-anaknya. Misalnya buka warung,
mengajar anak-anak TPA, atau kecil-kecilan jualan kue hasil kreasi sendiri,
mungkin juga belajar punya kete-rampilan menjahit dan jenis pekerjaan lain yang
sekira-nya bisa tetap memantau perkembangan pribadi anak-anak. Boleh juga tuh
bagi para ibu yang kebetulan sarjana, bisa aja buka usaha les privat, atau
mengajar di sekolah atau perguruan tinggi dengan jam pelajaran yang nggak
banyak dalam seharinya.
Ya, itu semua
memang butuh pengorba-nan. Membekali anak-anak dengan keimanan, kedisiplinan,
dan tanggungjawab jauh lebih berharga ketimbang membekali mereka dengan harta
semata. Pengorbanan yang diberikan para ortu insya Allah bermanfaat bagi
anak-anaknya. Kita yakin kok, semua orangtua ingin agar anak-anaknya juga
tumbuh dewasa dengan pribadi yang matang, kuat, punya tanggung jawab, dan
tentunya taat beragama.
Sobat muda,
yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana mengkomunikasikan harapan kita kepada
ortu kita. Tul nggak?
Kita
butuh perhatian
Kita ingin
perhatian dan kepedulian lebih banyak diberikan sama ortu. Bukan apa-apa,
perhatian dan kepedulian ini jauh lebih berharga ketimbang harta benda. Sebab,
kita anak-anaknya, nggak mau cuma dianggap sebagai bilangan aja, tapi juga
ingin diperhitungkan.
Tegur-sapa,
canda-tawa, dan juga me-nanyakan tentang hal yang ringan, bisa menumbuhkan
kebersamaan. Bahkan kita bisa belajar saling menghargai perbedaan. Juga saling
memahami kekurangan dan kelebihan masing-masing. Nggak mustahil kan kalo
kemudian terjalin ikatan batin yang kuat dan kokoh di antara anggota keluarga?
Sobat muda muslim, perhatian dan kepedulian dari orangtua akan mampu memberikan semangat hidup bagi kita. Sepertinya tak ada batas antara ortu dengan kita. Yang ada hanyalah jembatan kasih sayang yang tumbuh dari perhatian setulus hati. Komunikasi kita dengan ortu nyaris tak ada hambatan, jika semuanya dilandasi dengan kepercayaan dan pengertian.
Dorothy Law
Nolte menuliskan sebuah puisi indah yang menceritakan hubungan pendidikan orang
tua dengan pembentukan karakter anak-anak. Sengaja saya cuplikkan sebagai bahan
renungan kita bersama:
Anak
Belajar dari Kehidupannya
Jika anak
dibesarkan dengan celaan,
Ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,
Ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,
Ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,
Ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
Ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
Ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian,
Ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan,
Ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,
Ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dukungan,
Ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih-sayang dan persahabatan,
Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,
Ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,
Ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,
Ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
Ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
Ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian,
Ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan,
Ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,
Ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dukungan,
Ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih-sayang dan persahabatan,
Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
(diambil
dari Psikologi Komunikasi , Jalaluddin
Rahmat. Hlm. 102-103).
Bila anak
tumbuh menjadi liar, keras, pendendam, dan tidak punya sikap penyayang. Tentu
tidak muncul begitu saja. Barangkali para orangtualah yang merekayasa semuanya.
Duh, jangan sampe deh.
Tapi,
tentunya kita nggak bisa menya-lahkan sepenuhnya bahwa ini adalah hasil kreasi
para ortu. Kondisi kehidupan di alam kapi-talisme-sekularisme seperti saat ini,
yang telah menciptakan kebejatan dan ikut menyumbang bobroknya kepribadian
masya-rakat dan individu di dalamnya.
Meski
demikian, peran orangtua sebagai pemimpin dalam keluarga tetep diperlukan.
Tentunya dibutuhkan sebagai langkah awal pencegahan dalam rangka mendidik
generasi unggulan ini. Setuju kan? Itu sebabnya, kita tetap mengharapkan
hubungan yang baik antara ortu dengan anak-anaknya. Dan itu dimulai dari ortu.
Aduh uenake
kalo ortu kita jadi teladan dalam hidup kita.
Belajar
saling mencintai
Sobat muda
muslim, bisa jadi kita perlu ngobrol dan mendiskusikan sama ortu kita bahwa
pengorbanan yang mereka berikan kepada kita, anak-anaknya adalah bernilai
ibadah di sisi Allah. Tentunya berpahala dong.
Ada sebuah
riwayat menarik mengenai hal itu. Diriwayatkan bahwa ada seorang seorang
perempuan miskin datang menemui Aisyah r.a. �Ia membawa dua orang anak perem-puan. Aku memberikan tiga butir
kurma kepadanya. Ia memberikan dua butir kurma kepada anaknya. Ia bermaksud
untuk memakan sisanya. Tetapi kedua orang anaknya berusaha mere-butnya,
sehingga kurma itu pun jatuh dari tangannya. Akhirnya, perempuan itu tidak
makan kurma satu butir pun. Aku terpesona dengan perilaku perem-puan itu. Aku
ceritakan peristiwa itu kepada Rasulullah saw. Ia bersabda;
�Barangsiapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka.� (H.R. Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) .
Duh, kita
mengharapkan banget ortu kita bisa membimbing kita untuk menemukan kebenaran
Islam. Itu sebabnya, mungkin mulai sekarang bisa diobrolkan dengan ortu kita
tentang tanggung jawabnya itu. Yup, tentu bukan orangtua yang baik yang
meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan lemah. Baik iman, ilmu dan harta. Kita,
membutuhkan semuanya.
Suatu ketika
Luqmanul Hakim bercakap-cakap dengan anaknya. �Wahai ayah, apa yang terbaik bagi manusia?�
�Agama,� jawab
Luqman.
�Kalau dua?�
�Agama dan harta.�
�Kalau tiga?�
�Agama, harta dan rasa malu.�
�Bila empat?�
�Agama, harta, rasa malu dan akhlak yang mulia.�
�Jika lima?�
Agama, harta, rasa malu, dan akhlak yang mulia dan dermawan.�
Anaknya bertanya lagi, �Jika enam?�
�Kalau dua?�
�Agama dan harta.�
�Kalau tiga?�
�Agama, harta dan rasa malu.�
�Bila empat?�
�Agama, harta, rasa malu dan akhlak yang mulia.�
�Jika lima?�
Agama, harta, rasa malu, dan akhlak yang mulia dan dermawan.�
Anaknya bertanya lagi, �Jika enam?�
Luqman
menjawab, �Anakku, jika yang lima itu berkumpul pada diri seorang hamba maka
dia adalah orang yang bertakwa, dan Allah akan menolong orang yang menjauhi
syetan.�
Andai para
ibu seperti yang diceritakan dalam hadist tadi, dan juga para ayah seperti
Lukmanul Hakim, kebanggaan kita besar banget kepada mereka. Dialah ortu teladan
kita. Subhanallahu.
Tapi kita yakin kok, bahwa para ortu sekarang juga bisa belajar
dari para ortu teladan yang tadi disebutkan. Insya Allah. Kuncinya, coba kita
ajak ortu untuk sama-sama belajar saling mencintai. Meski untuk saling
mencintai tak ada seko-lahnya, tapi kita wajib belajar untuk bisa men-cintai
dengan benar. Setuju kan?
Menjalin
komunikasi
Peran komunikasi
me-mang besar dalam menjalin hubungan antar manusia. Salah komunikasi maka
akibatnya juga bisa fatal. Lebih parah lagi kalo nggak ada komunikasi sama
sekali. Termasuk komunikasi dalam keluarga. Hih, bayangin aja kalo para
penghuni sibuk dengan urusannya masing-masing. Bisa-bisa tuh rumah nggak ada
bedanya dengan kuburan. Sepi dan mencekam. Emang sih komunikasi bisa dengan
tanda atau gambar, tapi alangkah enaknya kalo juga dengan obrolan. Biar terikat
bathin satu sama lain. Betul? Yup, seratus buat kamu! :-)
Dengan
komunikasi kita juga jadi ngeh ama yang diingkan partner kita. Kita juga bisa
mengelola informasi yang baik dengan ortu kita. Hasilnya? Wuih, bisa bikin
senang kalo kita tinggal di rumah.
Kalo pun
marahan sama ortu, kita bisa mendiskusikannya dengan baik. Tul nggak? Berbeda
pendapat soal keinginan itu wajar. Tapi jadi nggak wajar kalo sama-sama ngotot.
Misalnya aja soal tontonan televisi. Kebetulan tayangan yang kamu suka dengan
tayangan yang ayahmu suka sama jamnya. Kita udah kebelet pengen nonton David
Beckham main bola, eh, bapak kita lebih suka nonton wayang kulit. Tivi cuma
satu lagi.
Waduh, kalo
sama-sama ngotot bisa berabe tuh. Coba deh obrolin. Kali aja bisa dise-pakati
untuk pindah chanel tiap sepuluh menit. Kalo ayahmu nggak bisa diganggu, ya,
kamu kudu ngalah. Itu lebih baik. Membiarkan ayah kamu terhibur dengan hobinya
kan berpahala juga. Tul nggak? Nggak usah marahan. Oke?
Kita wajib
menghormatinya dan nggak boleh sama sekali membencinya. Allah Swt. berfirman:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan �ah� dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (TQS al-Isrâ' [17]: 23)
Sobat muda
muslim, mulai sekarang mari kita jalin kerjasama dengan ortu kita. Supaya ngeh
dengan peran masing-masing. Kita butuh ortu teladan, dan kita yakin ortu juga
ingin anak-anaknya berbakti kepada mereka. Jadi, ayo jalin komunikasi yang
sehat untuk menumbuhkan rasa saling peduli, kasih sayang, dan juga cinta dalam
bingkai ajaran Islam. Insya Allah bisa kok itu semua kita jalani. Yakinlah. [solihin]
Sumber
: Edisi 167/Tahun ke-4 (20 Oktober 2003)
0 komentar:
Posting Komentar