About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful.

Senin, 30 April 2012

Terima Kasih Guruku


Engkau bagai pelita dalam kegelapan/Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan / Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa.

Rasa-rasanya lagu ini selalu inget di hati kita. Yup, bagi kita yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah kayaknya nggak bakalan lupa deh sama syair lagu ini. Apalagi buat kamu yang masih duduk di bangku sekolah. Iya kan? Lagu yang kalo sekarang dinyanyikan pun harusnya tetap membuat kita menghormati para guru. Soalnya cita-cita dan harapan yang bisa kita raih sekarang ini juga ada andil dari mereka. Sekecil apa pun. Apalagi kalo besar.

Masih terbayang bagaimana kita pas pertama kali masuk sekolah, pertama kali belajar nulis. Pensil yang kita pegang ikut bergetar karena tangan kita baru melakukannya, ditambah grogi pula. Tapi guru kita di sekolah dasar itu dengan telaten mengajari dan membimbing kita dengan tanpa pernah bosen. Seorang teman malah menikmati profesi guru sebagai jalan hidupnya. Ya, memberi pelita kepada yang sedang kegelapan adalah perbuatan yang insya Allah mulia. Apalagi jika ikhlas dilakukan. Allah pasti akan memberikan hujan pahala yang deras. Sangat deras barangkali.

Boys en galz , lagu Hymne Guru ini selalu mengingatkan kita pada mereka, para guru. Perhatian, kasih sayang, dan rasa pedulinya begitu luas hingga sulit bagi lisan ini untuk mengukir kata-kata yang terindah untuk mereka. Didikan dan bimbingannya masih terekam dalam benak kita dan tiap kata yang diucapkannya banyak mengandung nasihat.

Kalo di rumah kita mendapatkan rasa itu dari ayah, ibu, dan juga kakak-adik kita. Sementara di sekolah, guru yang memberikan semua rasa itu pada kita. Rasanya tak mungkin kalo bukan karena itu semua mereka mau membimbing kita. Mereka mengajar dengan penuh perhatian, selain karena ada tujuan materi yang diinginkan dari ilmu yang diajarkan kepada kita-kita, juga insya Allah berangkat dari idealisme untuk menciptakan manusia-manusia pembelajar di masa depan. Tentu, kita-kita ini diharapkan yang akan meneruskan perjuangan membangun negeri ini sesuai bidang yang digarap dan mampu kita lakukan. Awalnya, tentu kita belajar karena ada guru di sekolah.

Kalo udah ngomongin kebaikan juga pengorbanan yang mereka berikan untuk kita sepertinya nggak ada the end -nya. Bener nggak seh? Coba aja lihat, setiap hari mereka lebih banyak luangkan waktu di sekolah mulai dari ngajar, pertemuan para guru dan mengerjakan soal-soal ditambah lagi kudu membimbing dan membina kalo ada murid yang error tingkah lakunya. Waah itu semua rasanya butuh mata yang harus awas dan tentunya waspada. Berat memang tugasnya dan juga pengorbanannya. Tapi tentu betapa mulianya menjadi guru.

Pernah kan kamu lihat murid-murid pada ngumpul pada jam istirahat? Bagi seorang guru fenomena ini tidak pernah lepas dari perhatiannya. Tentu harapan guru semoga ngumpulnya mereka membicarakan sesuatu yang baik. Bukan sebaliknya malah 'hajatan' obat. Berabe kan kalo masalah ini lepas dari perhatian guru? Makanya bagi mereka dijuluki pahlawan sudah bukan sesuatu yang langka. Emang sih bukan pahlawan dalam kisah peperangan tapi kalo baca di Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah pahlawan itu terkait erat dengan sifat pengorbanannya. Setuju nggak? BTW, gimana neh nasib guru kita saat ini? Sejahterakah mereka? Cerahkah masa depan mereka?

Nasib guru kita

Entah, karena pemerintah menerjemahkan lirik lagu hymne guru' itu secara keliru, sehingga yang dimaksud pahlawan tanpa tanda jasa' itu adalah mereka yang tanpa pamrih. Sehingga nggak dihargai dengan gaji pun mungkin nggak akan melawan atau berontak. Kenapa? Ya gitu deh, namanya pahlawan tanpa tanda jasa. Menyedihkan sekali ya?

Jadi inget lagunya Bang Iwan Fals yang sangat terkenal, yakni Oemar Bakri. Lagu ini berkisah tentang keprihatinan terhadap nasib guru. Seorang guru bernama Oemar Bakri dalam lagu Bang Iwan Fals ini digambarkan sebagai sosok guru yang sangat mengabdi sampai usia tuanya. Tetap semangat mengajar murid-murid tercintanya meski gaji sering disunat'. Tragis sekali.

Bahkan ketika murid-muridnya sudah jadi orang', sosok Oemar Bakri tetap saja sederhana, dan nasibnya tak kunjung membaik. Saat ini pun kita sering mendengar kisah-kisah memilukan tentang profesi guru. Ada banyak Oemar Bakri' lainnya yang kini menderita. Ya, seperti melanjutkan estafet' nasib Oemar Bakri dalam lagu Bang Iwan Fals tersebut.

Salah satunya adalah kisah seorang guru yang mengajar di sebuah wilayah di daerah Gorontolo. Ibu guru kita ini bercerita di acara Kembang Api-nya API (Audisi Pelawak TPI) 14 Agustus 2005 lalu. Untuk mengambil gajinya yang menurut pengakuannya sekitar 1 jutaan itu, ia harus berangkat dari rumahnya jam 5 pagi, dan baru sampai di kota tujuan untuk mendapatkan gajinya sekitar jam 8 malam. Wuih, jauh banget tuh (berapa kali ganti sendal ya?). Untuk menempuh perjalan jauh itu, 200 ribu rupiah katanya harus dikeluarkan. Kita bisa bayangin sendiri gimana memprihatinkannya nasib guru di daerah.

Kalo di kota mungkin masih agak-agak bisa terobati kali ye? Misalnya untuk menambah biaya dapur, bisa jadi tukang ojeg. Ini juga ada kisah memilukan tentang seorang guru. Saya melihatnya di Trans TV dalam acara Good Morning yang dipandu Ferdy Hassan dan Rieke Oneng' Dyah Pitaloka. Dalam salah satu laporannya, ada seorang guru di Bekasi yang nyambi jadi tukang ojeg. Maklum guru honorer. Jika tak salah dengar gajinya sekitar 400 ribuan gitu deh per bulannya.

Ini memang baru satu kasus, entah kasus lainnya yang tak terberitakan. Wallahu'alam . Tapi meski hanya satu atau beberapa kasus yang bisa dihitung dengan jari, tentunya ini adalah sebuah musibah. Ya, musibah bagi profesi pengajar yang dengan ilmunya menjadikan kita-kita bisa belajar dan bahkan bisa lebih pinter dari mereka dan nasib kita barangkali juga ada yang lebih baik dari mereka.

Kita yakin juga kok, bahwa nasib guru yang agak-agak lebih baik atau mungkin sangat baik juga ada. Tapi jumlahnya tak sebanyak yang merana'. Tentunya harus ada perhatian dan juga tindakan nyata dari pemerintah untuk memikirkan solusi dari nasib guru dan juga masalah pendidikan ini.

Ini memang harus diupayakan untuk segera ditangani. Maklum saja, waktu terus berjalan dan roda kehidupan juga butuh energi untuk menggerakkannya. Jika nasib guru terus memburuk, khawatir idealisme sebagai pengajar juga akan pudar. Tergerus oleh naluri untuk mempertahankan hidup. Idealismenya dikalahkan oleh urusan perut. Itu sebabnya, jangan salahkan pula jika banyak dari kita sudah tak punya cita-cita untuk menjadi guru. Karena melihat nasib para guru (secara umum) yang mengenaskan.

Kenapa ini terjadi?

Sobat muda muslim, kita jadi berpikir lebih jauh, ada apa sebenarnya dengan kondisi guru? Separah inikah nasib pahlawan tanpa tanda jasa? Mengapa ini bisa terjadi? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bisa terus menghantui kita dan berusaha mendapatkan jawaban yang benar dan masuk akal.

Memang sih, masalah di negeri kita bukan hanya soal guru. Bukan hanya soal pengangguran, bukan pula sekadar masalah kriminal yang kian menggila. Masalah di negeri kita banyak sekali. Saking banyaknya, rasanya tak akan cukup dituliskan secara lebih detil di buletin kesayangan kamu yang cuma empat halaman ini.
Jika kita melihat lebih dalam (sumur kale!), tentu kita berpikir bahwa kondisi masyarakat ini tak bisa lepas dari sistem kehidupan yang mengendalikannya. Apakah akan bergolak atau tetap dingin, sistemlah yang mengaturnya. Ambil contoh air yang ada di tempayan. Jika tidak dipanasi dengan api ia tidak akan bergolak. Tetep dingin. Nggak bereaksi sedikit pun.

Air yang ada di lemari es, karena dikondisikan oleh sitem pendingin' dari kulkas itu, maka ia akan menjadi dingan dan bahkan beku. Di sinilah sebuah sistem berperan besar.

Itu sebabnya, jika melihat fakta saat ini, ternyata dalam kehidupan negara yang menerapkan kapitalisme-sekularisme, asas manfaat yang disandarkan pada materi menjadi tolok ukur. Memang sangat kompleks untuk menjelaskan tentang sistem kapitalisme. Mungkin saja memerlukan berlembar-lembar halaman. Tapi di sini kita bicara' singkat aja. Semoga mengena. Oke?

Kita lebih melihat fakta dari diterapkannya kapitalisme di sini, bahwa pemerintah lebih memfokuskan perhatiannya kepada sektor-sektor yang cepat menghasilkan duit (itu pun jika tidak dikorupsi pejabatnya). Dalam satu kasus saja, misalnya program pemberdayaan guru dan peningkatan kesejahteraannya sering hanya berhenti di seminar-seminar saja. Nyaris realisasinya tak terwujud di lapangan. Menyedihkan.

Tapi sebaliknya, pemerintah kelihatan sangat getol jika ada proyek-proyek yang cepat mendatangkan uang, seperti eksplorasi minyak bumi, izin untuk tempat-tempat hiburan, pelacuran, perjudian, pabrik minuman keras, dan bahkan tutup mata' terhadap peredaran narkoba. Tentu untuk beberapa kasus ada yang ditindak juga, tapi biasanya itu yang nggak mendapatkan izin dan nggak nyetor' upeti.

Coba aja dipikirin deh, daripada bikin lokalisasi pelacuran, komplek perjudian dan melindungi' peredaran narkoba, anggarannya kan bisa dipake untuk kesejahteraan guru. Jangan sampe guru yang kesulitan mengepulkan asap dapurnya karena gajinya rendah ikutan-ikutan masang nomer cantik pembawa hoki di arena judi togel.
 Menyoroti nasib guru ini, Ketua Umum Persatuan Guru RI, Muhammad Surya menyampaikan, Apa pun yang diperjuangkan untuk perbaikan kesejahteraan guru berpulang pada sejauh mana komitmen penyelenggara negara terhadap pendidikan. Studi banding kemana pun jika tidak mengedepankan kepentingan pendidikan itu sendiri maka percuma (Koran Tempo, 5 Agustus 2005)

Sobat muda muslim, masalah ini memang kompleks banget. Satu-satunya jalan adalah dengan mengubah kondisi yang ada supaya menjadi lebih baik. Selama sistem yang mengkondisikan kehidupan ini tidak kita enyahkan, maka selama itu pula kita akan tetap terkurung dalam arus kehidupan yang membuat kita semua menderita lahir-batin.

Ini insya Allah nggak akan terjadi jika kita mau menerapkan aturan Islam yang akan mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini. Yakin itu.

Untukmu guruku

Semoga saja, nasib guru menjadi lebih baik di masa-masa yang akan datang. Kita sendiri baru bisa mendoakan dan sedikit memberi solusi. Namun, solusi yang baru bersifat wacana ini membutuhkan dukungan dari pemerintah untuk merealisasikannya. Sebab, tanpa peran mereka, harapan kita untuk meningkatkan kesejahteraan hidup para guru tak akan pernah terwujud. Karena jasa guru termasuk berharga bagi kemajuan sebuah peradaban. Pemerintah harus menghargai para pendidik dan memajukan dunia pendidikan.

Itu sebabnya, amat wajar bahwa kita pantas dan layak untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada guru kita semua. Ijinkan kami memberikan tanda cinta kami yang tak pernah luntur oleh waktu. Guruku, ketulusan dan keluasan ilmumu yang berguna selalu kau limpahkan untuk bekalku nanti. Bila masih bisa mulutku berbicara kukatakan padamu: terima kasih guruku.

Dan, semoga saja pemerintah bisa mewujudkan niat baiknya untuk menghormati, menghargai, dan memberikan yang terbaik untuk para guru sebagai tanda cinta dan rasa terima kasih yang amat dalam. Semoga Allah memudahkan niat dan langkah baik kita. Amin.

Tapi, rasanya sangat sulit terwujud jika pemerintah masih menerapkan kapitalisme. Saatnya menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Siap kan? [fahmarosyada: fahmarosyada@yahoo.co.id]

Sumber : STUDIA Edisi 258/Tahun ke-6 (22 Agustus 2005)

Minggu, 29 April 2012

Siapa Paling Cuek di Antara Kita?


Wacks? Ini bukan perlombaan saudara-saudara, tapi ini sebagai salah satu bentuk sindiran buat kita-kita. Harap dicatet ya, bukan berarti saya yang nulis udah dapet gelar paling peduli. Nggak juga. Tapi ini adalah sentilan' buat semuanya, termasuk yang nulis. Hehehe.. bener lho, banyak banget di antara kita yang cuek abis terhadap segala macam problema. Kalo udah cuek alias nggak peduli, alamat hidup cuma untuk kesenangannya masing-masing. Yang lain? Emang gue pikirin? Waduh!
Oya, sifat cuek ini bisa ngendon dalam diri seseorang secara pribadi, bisa juga kompakan alias banyak orang yang sepemikiran dan seperasaan untuk sama-sama mengamalkan: Emang Gue Pikirin? Nah lho, kalo udah kayak begini, bisa berabe tuh. Maklumlah, kalo semuanya enjoy dengan urusan masing-masing, apa ia akan peduli dengan masalah umat ini? Hmm.. jangan harap deh.

Sobat muda muslim, kondisi ini udah menggejala. Namanya menggejala berarti udah banyak yang mengamalkan. Contohnya, ketika seks bebas yang digeber abis-abisan ama remaja sekarang, banyak orang cuma mampu geleng-geleng kepala. Selanjutnya, Biarin dah. Bukan urusan gua! Gubrak!

Ketika muslim Palestina digempur Israel, ketika rakyat muslim Irak digebukkin pasukan AS, saat Aceh membara, pas kemiskinan menjerat leher saudara kita, sebagian besar dari kita asyik dengan kehidupannya. Cuma segelintir orang yang bela-belain protes di jalanan. Hanya sedikit orang yang rela berpanas-panasan dan diguyur hujan untuk meyakinkan orang-orang bahwa kita wajib peduli dengan nasib saudara kita. Syukur-syukur kepedulian kita diwujudkan dengan lebih besar dan banyak, ya minimal banget adalah mengirimkan doa. Tega banget deh kalo kepedulian yang minimal pun nggak kita lakukan.

Sikap cuek juga nampak dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak remaja yang semau gue dalam berbuat. Ketika diingetin sama temanya, Eh, kamu kok pacaran sih? Mereka kompakan ngomong, Kalo jomblo jangan belagu ya! Duilee.. yang ngingetin malah dikatain begitu. Duh, maksiat kok nekat euy! Sadar ngapa?
Kalo diitung-itung, meski nggak pake hasil penelitian yang akurat, ini sekadar melihat fakta di lapangan aja, ternyata antara yang peduli dengan yang cuek banyakan yang cuek tuh. Nah, kalo mau dipersempit lagi, siapa yang paling cuek di antara yang cuek? Kamu jangan ngacung bro. Malu! Heheheh..

Kriteria paling cuek jatuh kepada mereka yang cuek abis terhadap agamanya. Di bawahnya ada dua lagi. Nah, kalo mau dirunut begini: paling cuek pertama adalah mereka yang nggak mau tahu ajaran apa aja dalam agamanya ini. Masih ngaku Islam sih, tapi doi nggak mau ambil pusing kudu mengamalkan ini dan itu dalam ajaran agamanya. Pokoknya, cuek abis. Prinsip doi, Gue suka kebebasan. Agama itu mengekang. Agama bagi gue cuma status aja. Itu pun kalo ada yang nanya agama gue apa. Wasyah!

Tipe mereka yang tercuek kedua adalah, nggak peduli dengan nasib saudaranya sesama muslim. Kalo doi udah asyik, nyang lain silakan minggir. Ada tetangga or temannya yang kelaparan, sebodo amat. Ada temannya yang sakit, silakan urus sendiri. Duilee.. kejam bin sadis begitu. Apa iya kalo kamu yang kebagian jatah susah orang mau nolong? Catet tuh. Emangnya di dunia ini cuma dikau seorang yang berhak suka-suka?

Nah, yang paling cuek ketiga adalah mereka yang nggak mau tahu nasib keluarganya sendiri. Walah, ini juga berat euy. Kalo sama keluarga dekat aja nggak peduli, gimana mau peduli sama tetangga atau saudara seakidah yang terpisahkan oleh batas wilayah? Hmm menyedihkan banget.

Kebebasan akan menguburmu

Tentu yang dimaksud kebebasan di sini adalah bebas berbuat sesukanya. Nyang penting asyik. Sekali lagi, asyik. Pokoknya, kalo perbuatan itu membuatnya enjoy dalam menikmatinya, hajar terus. Padahal, nggak jarang yang dilakukannya itu justru dilarang dalam ajaran Islam. Kalo semua remaja muslim, atau kaum muslimin banyak yang berbuat begini, rasanya pantas jika Allah benci ama kita-kita.
Gimana nggak, atas nama kebebasan berbuat, sebagian dari kita tak malu berbuat maksiat. Inilah orang yang cuek ama ajaran agamanya. Mereka yang cuek ama ajaran agamanya, biasanya nggak risih atau was-was kalo telah berbuat serong. Sebaliknya, dianggap wajar aja. Duh, beraninya membangkang Allah dan Rasul-Nya. Astaghfirullah

Sobat muda muslim, sikap cuek terhadap ajaran Islam ini emang bukan tanpa sebab. Ibarat kata pepatah, tak ada asap kalo nggak ada api. Itu artinya banyak kaum muslimin, termasuk remaja yang bebas berbuat sesukanya karena mereka udah terbiasa hidup dalam lingkungan yang liar. Gimana nggak, dalam sistem kapitalisme yang menjadikan kebebasan sebagai asas berbuat telah tumbuh subur para aktivis per-misivisme. Gaswat tuh!

Bukti bahwa banyak yang cuek ama ajaran agamanya bisa kamu lihat ketika nonton berita kriminal di televisi. Banyak sih yang ngaku muslim, tapi jadi bandar narkoba. Ada juga yang di KTP-nya tertulis Islam dalam kolom agama, tapi pelaku seks bebas. Hmm ini membuktikan bahwa beliau-beliau ini udah nggak peduli lagi dengan ajaran agamanya. Sangat boleh jadi lho mereka nggak ngeh mana yang dihalalkan dan mana yang diharamkan. Ckckckckck..

Seandaianya kecuekan terhadap ajaran Islam ini terus berlangsung, alamat kehancuran yang akan didapat. Ingat lho firman Allah Swt.:

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS ar-Ruum [30]: 41)

Contohnya sekarang, Kamu masih inget kan dengan penelitian yang menyebutkan 97,05 persen mahasiswi di Yogyakarta sudah tidak perawan lagi? Wow, sungguh mencengangkan dan mengerikan mengetahui kehidupan seks mahasiswi di kota pelajar Yogyakarta. Benar. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH) menunjukkan hampir 97,05 persen mahasiswi di Yogyakarta sudah hilang keperawanannya saat kuliah.

Seperti yang ditulis detik.com pada 2 Agustus 2002 lalu, bahwa yang lebih mengenaskan, semua responden mengaku melakukan hubungan seks tanpa ada paksaan. Semua dilakukan atas dasar suka sama suka dan adanya kebutuhan. Selain itu, ada sebagian responden mengaku melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu pasangan dan tidak bersifat komersil. Wah, wah, wah.

Kenapa bisa begini? Boleh jadi banyak teman remaja yang menganggap bahwa rasa cinta itu nggak seru kalo nggak diekspresikan dengan pacaran. Pacaran pun nggak asyik kalo nggak dibumbui dengan aktivitas seks. Gedubrak. Benar-benar liar tuh!
Jangan heran dan jangan kaget kalo saat ini berkembang remaja-remaja yang free thinker , alias pemikir bebas. Ciri-cirinya? Kalo dalam urusan seks, remaja-remaja model begini nggak kenal kata takut dosa. Pokoknya, semau gue deh. Kalo itu mengasyikan, kalo itu bikin takjub, hajar aja tanpa ampun. Nggak peduli lagi gimana kalo nanti hamil di luar nikah. Nggak ambil pusing lagi kalo nanti kena penyakit seksual menular. Pendek kata, asal itu dilakukan atas dasar suka sama suka, menyenangkan, dan menghibur nggak peduli lagi dengan urusan dosa. Toh, biasanya mereka menganggap bahwa agama hanya sekadar alat bantu di kala butuh ketenangan jiwa. Waduh!

Oya, kasus yang sodaraan' ama seks bebas adalah narkoba dan kriminalitas. Wuih, di jalur ini pun remaja udah banyak yang jadi aktivisnya. Berdasarkan catatan sebuah lembaga konseling narkoba menyebutkan bahwa di Jakarta saja, dari 110 kelurahan yang ada, semuanya nggak bebas narkoba. Terus peredaran uang dari bisnis narkoba ini di Jakarta sehari bisa menyentuh angka Rp 4 miliar. Waduh, heboh juga ya?

Menurut perkiraan Prof Dr Dadang Hawari, angka pengguna narkoba di Tanah Air mencapai tiga juta orang. Setiap pecandu diperkirakan membelanjakan uangnya Rp 100.000-Rp 300.000 per hari untuk membeli obat-obatan berbahaya. ( Tempo , 27/5/2001). Bila jumlah pengguna dan uang jatah membeli barang-barang haram itu dikalikan, diperoleh angka Rp 300 milyar- Rp 900 milyar. Kisaran inilah sales industri narkoba di wilayah Indonesia untuk satu hari. Tetapi, jika yang digunakan data dari Departemen Pendidikan Nasional akan lebih tinggi lagi besarannya, empat juta pengguna (Majalah Interview, 20/1/2001). Omzet per hari dapat mencapai Rp 400 milyar-Rp 1,2 trilyun.

Kalo udah kena? Walah, berat euy pengobatannya. Biaya yang biasa diperlukan untuk terapi ini di Jakarta bervariasi dari 20 ribu sampai 75 ribu rupiah per pertemuan. Bahkan ada yang harus berobat sampe 20 kali pertemuan ( HAI, No 6 Tahun 25 ). Belum lagi harga obat lainnya. Untuk menghantam pengaruh morfin di dalam tubuh penderita, ada yang harus minum obat rata-rata 10-12 butir per hari. Harga obatnya sendiri mencapai 1,5 juta sampe 2 juta perak per 50 butir. Maklum obat impor. Nah lho..

Sadar dooong!

Emang nggak mudah kalo nerima kritik dari orang lain. Nggak heran bila kemudian muncul sikap arogan dalam diri kita. Ya, kayak temen kamu yang punya prinsip Emang gue pikirin itu. Sikap seperti itu muncul karena kamu nggak mau diganggu gugat atas perbuatan yang kamu lakukan. Lalu kamu balik menyerang. Kalo perbuatan yang kamu lakukan bener, terus ada yang ngritik, dan kamu balik menyerang, tentu itu beralasan dong. Tapi kalo perbuatan kamu salah, terus kamu menolak ditegur, berarti kamu emang arogan alias nggak mau berlapang dada. Hati-hati ya. Soalnya, manusia itu nggak ada yang sempurna. Semua manusia punya sisi gelap dan sisi terang dalam hidupnya.

Orang yang arogan alias sombong, biasanya menolak kebenaran yang datang kepadanya. Itu sebabnya, tujuan hidupnya bukan nyari kebenaran, tapi pembenaran atas per-buatannya. Itu bahaya. Allah Swt. murka lho, sama orang yang model begini. Firman-Nya:

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS Luqman [31]: 18)

Dan sebaliknya orang yang ikhlas, berlapang dada, mau menerima kritik dari orang lain, itulah yang dinginkan oleh Allah Swt. Firman-Nya:

dan (aku telah diperintah): Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik. (QS Yunus [10]: 105)

Oke deh, mulai sekarang kita kudu sadar. Nggak cuek lagi ya sama ajaran agama kita, nggak cuek ama nasib saudara seakidah, juga nggak diem aja ama nasib keluarga kita sendiri. Kita kudu peduli. Peduli sama ideologi Islam? Wajib euy. Ideologi lain? Lewaaaat! Jadi, cuek? Udah basi tuh! [solihin]

Sumber : STUDIA Edisi 163/Tahun ke-4 (22 September 2003)

Pelajar Kok Bunuh Diri?


Jumat (15/7) petang lalu, penduduk Desa Cikiwul, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, dikagetkan dengan peristiwa bunuh diri seorang siswi SMP 10 Bantar Gebang. Vivi Kusrini nekat mengakhiri hidup dengan menggantung diri memakai seutas tali di kamar mandi rumahnya. Menurut penuturan sang Ayah, mungkin alasan vivi gantung diri karena malu sering diejek teman sekolahnya sebagai anak tukang bubur. Apalagi menjelang tahun ajaran baru ini Vivi belum punya seragam sekolah. ( liputan6.com, 16/07/2005 )

Kejadian serupa juga menimpa Oman, seorang pelajar kelas enam Sekolah Dasar Karang Asih 04, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (4/6/2004), yang nekat meminum racun tikus karena tidak mempunyai uang untuk membayar biaya ujian akhir nasional (UAN) sebesar seratus ribu rupiah. Kasus Oman ini mengingatkan kembali kasus bunuh diri yang dilakukan Haryanto, murid SD Megeri Sanding IV Garut, Jawa Barat, pada tahun 2003. Hariyanto juga mencoba bunuh diri karena tidak mampu membayar uang ekstrakurikuler sebesar Rp 2.500 ( liputan6.com, 05/06/2004 )

Parahnya, gejala bunuh diri yang dilakukan pelajar juga merembet pada anak usia prasekolah. Diduga gara-gara dimarahi ibunya karena tidak mau disuruh mandi, seorang bocah di Blora, Sabtu (14/5) nekad bunuh diri. Renaldi Sembiring (5,9 tahun), pelajar Taman Kanak-Kanak (TK) Pertiwi, Kelurahan Tempelen Kecamatan/Kota Blora Jawa Tengah, ditemukan tergantung di tali plastik jemuran yang berada di kayu penyangga atap dalam ruangan kosong di rumah yang berlokasi di komplek Rumah Dinas Hakim PN Blora, Kelurahan Tempelen Blora. ( Republika, 15/05/2005 )

Sobat, maraknya kasus bunuh diri yang menimpa pelajar, bikin hati kita prihatin bin terenyuh. Prihatin, lantaran mereka selaku pelajar adalah generasi harapan masa depan negeri ini. Dan tentu terenyuh mengingat usia mereka yang masih belia. Sedih rasanya menyaksikan satu per satu dari mereka kudu mengakhiri hidupnya dengan tragis. Bukannya menggantungkan cita-cita setinggi langit, malah gantung diri pake seutas tali. Piye iki ?

Kenapa mesti bunuh diri?

Kalo kita perhatikan (ciee kayak pengamat politik aja), kayaknya ada misspersepsi di kalangan anak (terutama pelajar) tentang cara mengatasi masalah yang dihadapinya. Mereka menganggap bunuh diri sebagai jalan keluar yang praktis dan mudah untuk mengakhiri masalah. Atau bisa juga sebagai ungkapan dari rasa kecewanya. Nggak pake mikir or nyadar kalo bunuh diri itu termasuk perbuatan dosa besar dan bakal dapet siksa di akhirat.
Allah Swt. sudah menjelaskan tentang larangan untuk melakukan bunuh diri. Seperti dalam salah satu ayat dalam al-Quran:

Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. ( QS an-Nisaa` [4]: 29 )

Rasulullah saw. juga bersabda dalam sebuah hadis: Barangsiapa yang mencekik lehernya, ia akan mencekik lehernya sendiri di neraka. Dan barang siapa yang menusuk dirinya, ia akan menusuk dirinya sendiri di neraka. [ HR Bukhari dan Muslim ]

Dari beberapa kejadian di atas, ada tiga motif yang umumnya memancing para pelajar itu berbuat nekat melakukan bunuh diri.

Pertama , kesulitan ekonomi. Ketika biaya pendidikan di negeri kita kian mahal, para pelajar itu kudu berhadapan dengan ekonomi keluarga yang pas-pasan. Padahal orang tua mereka udah banting tulang plus peras keringat biar anaknya bisa mengenyam pendidikan formal. Tapi ternyata, bisa sekolah aja belon cukup. Sebab mereka kudu mengeluarkan kocek lagi untuk biaya ujian, seragam, buku, ekstra kulikuler dan lainnya. Walhasil, rasa malu van minder dengan mudah menghinggapi pelajar yang tak bisa memenuhi tuntutan biaya pendidikan. Kalo nggak kuat iman, nasibnya bisa ngikutin jejak Vivi atau Oman. Gaswat banget kan?

Kedua , hubungan keluarga yang kurang harmonis. Masih ada orang tua atau sang kakak mengekspresikan rasa sayangnya kepada adik dengan kemarahan ketika berselisih. Seolah-olah yang paling muda selalu salah. Sang adik masih dianggap anak kecil yang nggak punya hak untuk bicara atau membela diri. Parahnya, ungkapan kekecewaan seorang adik kepada kakaknya atau kepada orang tua sering nggak dapet tempat dalam keluarga. Anak jadi ngerasa sendiri. Tak ada yang memperhatikan. Akhirnya, mereka pun mengambil keputusan pensiun dini' dari kehidupan dunia. Seperti yang terjadi pada Priyo atau Renaldi Sembiring.

Ketiga , dampak negatif pemberitaan media. Menurut Wakil Ketua PW Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jabar, Ir. H. Zulkarnaen, media massa baik cetak maupun elektronik juga ikut menyumbangkan dampak negatif, karena anak-anak belum memiliki filter. Seperti kasus bunuh diri Haryanto (PR, 13/8-2003) yang diberitakan besar-besaran oleh media massa dengan banjirnya bantuan dari pejabat sampai artis. Anak-anak yang tidak paham meyakini enaknya bunuh diri sebab mendapat hadiah uang cukup banyak.

Padahal seharusnya peran media massa bisa lebih mengedepankan unsur edukasi kepada masyarakat. Bukan menginspirasi supaya berbuat yang sama. Sepertinya nggak ada standar nilai yang dipake media untuk menentukan perbuatan tersebut salah atau benar. Sehingga opini di tengah masyarakat dibiarkan mengambang atau diarahkan untuk setuju dan diam terhadap kemaksiatan yang terjadi di depan mata. Parahnya, di era kapitalis kayak gini, standar nilai yang dipake pihak media adalah rating tinggi dan membanjirnya iklan. Unsur pendidikan? Dipending aja dulu kali ya!

Hidup itu indah sobat...

Sobat, dalam menjalani kehidupan ini, berbagai tuntutan kebutuhan hidup datang silih berganti nggak kenal situasi dan kondisi. Sementara kemampuan yang kita miliki terbatas alias nggak stabil. Ketika tuntutan kebutuhan hidup tak sejalan dengan kemampuan, timbullah permasalahan. Ini yang bikin kita ngerasa hidup itu begitu menekan, sulit, dan penuh dengan penderitaan (hihihi..kaya lirik lagu dangdut). Sampe-sampe kita kalungkan predikat musibah untuk setiap masalah yang menghampiri kita. Tepatkah predikat itu?
Nggak sobat. Rugi kalo kita anggap sebuah masalah itu adalah musibah. Segenap jiwa raga, waktu, pikiran, dan tenaga kita bakal terkuras habis untuk menghindari masalah. Akibatnya, panca indera kita seolah mati rasa untuk menikmati segala anugerah yang Allah berikan dan merasakan hal-hal yang menarik dalam hidup kita. Padahal mereka yang tergolek lemah di rumah sakit pengen cepet sembuh biar bisa menikmati hangatnya sinar mentari pagi. Malah ada yang kudu bayar ratusan ribu untuk menghirup udara segar dari tabung oksigen. Sementara kita bisa mendapatkannya dengan cuma-cuma setiap pagi. Masihkah kita ngerasa hidup itu sulit?

Kesulitan hidup adalah bagian dari kenikmatan yang Allah berikan pada kita. Makanya nikmatilah kesulitan itu dengan selalu berpikir positif. Dengan berpikir positif, mata kita akan lebih terbuka, hati kita akan lebih peka, dan pikiran kita lebih leluasa memandang sebuah permasalahan dari berbagai sisi. Dan ternyata, Allah nggak akan pernah ngasih beban hidup di luar kemampuan kita. Harapan ini yang harus kita pegang. Agar kita punya alasan yang kuat untuk tetap hidup demi meraih ridho Allah dalam kehidupan dunia.

Coba sesekali kita ikut prosesi perlakuan terhadap jenazah. Mulai dari memandikan, mengkafani, mensholatkan, sampe menguburkan. Kita bisa lihat, orang yang sudah wafat nggak bisa apa-apa (apa pernah dengar jenazah bisa mandi sendiri?). Pintu taubat dan ladang pahala sudah tertutup baginya. Ini menunjukkan betapa berharganya hidup kita. Karena kita masih punya kesempatan untuk bertobat, berburu ridho Allah, dan mensyukuri kenikmatan yang diberikanNya. Nikmat iman, Islam, sehat, sakit, bahagia, atau sedih. Ini yang bikin hidup kita indah.

Keindahan hidup nggak diukur dari panjang-pendeknya umur atau kaya-miskinnya kita. Tapi dilihat dari usaha kita mengisi hidup. Pilihannya cuma dua, dengan ketaatan atau kemaksiatan. Sebab keindahan hidup, tidak seharusnya hanya kita rasakan di dunia saja. Tapi juga di akhirat. Dan ketaatan terhadap aturan Allah Swt. dalam menjalani hidup menjadi kunci untuk mendapatkan keindahan hidup dunia dan akhirat. Makanya, bangkit dan hadapilah setiap tantangan hidup dengan berpegang pada aturan Islam. Percaya deh, kita pasti bisa melaluinya. Terlalu berharga hidup ini jika harus diakhiri dengan cara bunuh diri. Selain dosa, juga sia-sia. Double kan ruginya?

Jangan sampai terulang lagi

Bener sobat, harus ada peran serta dari negara, sekolah, keluarga, dan remaja itu sendiri agar kasus bunuh diri yang dilakukan para pelajar seperti di atas tidak terulang lagi.
Negara dalam hal ini sangat berkepentingan untuk memberikan jaminan kesejahteraan, terutama pada rakyat miskin. Jaminan itu bisa berupa terpenuhinya kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan); biaya pendidikan dan ongkos kesehatan yang murah atau gratis. Sehingga alasan ekonomi tidak lagi memicu orang untuk melakukan aksi bunuh diri. Selain itu, negara juga kudu rajin memberikan siraman rohani lewat program yang benar di media massa, sehingga mental masyarakat kuat dan tak mudah putus asa dalam menjalani kehidupan ini. Kondisi ini bakal mudah terpenuhi jika negara pake aturan Islam untuk ngatur rakyatnya. Kalo sekarang? Lihat aja hasil buruk akibat diterapkannya sistem kapitalisme. Betul?

Pihak sekolah tidak seharusnya mengarahkan siswa hanya untuk mengejar nilai mata pelajaran. Sementara perkembangan jiwa dan psikologinya dibiarkan tandus. Akibatnya, seperti dituturkan Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, siswa tak punya life skills untuk memecahkan masalah dalam kehidupan nyata. Sehingga jiwanya rapuh dan mudah terguncang. Adanya pengajian yang diagendakan sekolah, bisa menjadi alternatif untuk menyokong emotional intelegencia yang diperlukan siswa untuk memupuk perkembangan jiwanya ke arah positif.

Keluarga, idealnya bisa menjadi katup pengaman' bagi para pelajar dalam menghadapi masalah sosialnya. Jika ada masalah di sekolah atau dengan temannya, ia bisa memperoleh solusi di keluarganya. Pembicaraan dari hati ke hati antara orang tua dan anak atau antar anggota keluarga, bisa membantu mencairkan kekecewaan yang dialami anak serta membesarkan hatinya. Sehingga bunuh diri tidak menjadi pilihan mereka dalam menyelesaikan masalahnya.

Dan yang terakhir, mungkin temen remaja kurang mendapatkan dasar ilmu agama yang bisa memaksa' mereka untuk selalu berpikir akan pahala dan dosa sebelum berbuat sesuatu. Padahal ilmu agama (Islam) menjadi benteng terakhir yang dimiliki kita dalam menghadapi setiap masalah agar tidak salah jalan. Dan emang udah seharusnya setiap muslim giat mengkaji Islam lebih dalam dan lebih detil dengan serius dan penuh semangat.

Tujuannya? Untuk mendapatkan petunjuk hidup yang jelas dan benar. Sehingga, dalam keadaan suka dan duka, ia akan selalu ingat kepada Allah dan jalan keluar yang ditawarkan Islam. Nggak akan milih jalan lain yang belum jelas (apalagi nggak benar). Sebab, dengan menempuh jalan yang benar, kita merasa tentram dan aman. Nggak was-was lagi menjalani hidup yang penuh kejutan' ini.

Oke deh, daripada bunuh diri, mending bunuh tuh rasa malas yang ngendon dalam diri kita pas mau ikut pengajian. Berani? Siapa takut! [Hafidz: hafidz341@telkom.net]

Sumber : STUDIA Edisi 255/Tahun ke-6 (1 Agustus 2005)